Selasa, 28 Desember 2010

Indonesia Pancasila antara Otak dan Moral

Sesuai dengan janjiku untuk mem-posting essay ku yang menjadi bahan pergunjingan sewaktu lomba, kalau belum baca, silahkan baca dulu "Ini Tentang Masa Gelapku". Ini artikel yang paling membuat duniaku gonjang ganjing dulu. Ffffuuuh.. masa lalu yang kelam. Oke, daripada tambah panjang, silahkan dibaca essay ini.. :)









Indonesia Pancasila antara Otak dan Moral
Oleh : Dewa Ayu Widyastiti Sravishta

            Dunia pendidikan merupakan dunia yang paling mendasar yang dimiliki manusia. Dari mulai manusia membuka mata hingga menutup mata pendidikanlah yang membantu manusia. Mulai dari membentuk perilaku dasar manusia pendidikanlah yang berperan karena dalam pendidikan tersebut terdapat nilai-nilai budi pekerti yang dapat membentuk pekerti manusia. Kemudian semakin beranjak dewasa manusia mulai mengenal ilmu-ilmu yang berat dari ilmu humaniora sampai eksakta. Namun sayang, dunia pendidikan Indonesia kini telah melupakan nilai-nilai luhur pancasila sebagai dasar pendidikan. Yang kini di pikirkan dalam dunia pendidikan adalah membentuk pribadi manusia yang pintar bukan cerdas.
            Manusia yang pintar adalah manusia yang hanya bisa menggunakan kemampuan eksaktanya tanpa memikirkan nilai budi pekerti atau moral. Sedangkan manusia yang cerdas adalah manusia yang memiliki kemampuan eksakta yang baik dan memiliki moral serta budi pekerti yang luhur. Memang pendidikan di Indonesia kini memperhatikan tiga faktor utama pada anak didiknya yaitu psikomotorik, kognitif, dan afektif. Nilai psikomotorik adalah nilai yang berkaitan dengan kemampuan melakukan pekerjaan dengan melibatkan anggota badan, kemampuan yang berkaitan dengan gerak fisik, nilai kognitif adalah nilai yang berkaitan dengan kemampuan berpikir, kemampuan memperoleh pengetahuan, pengenalan, pemahaman, konseptualisasi, dan penalaran, dan yang terakhir adalah nilai afektif yaitu nilai yang berkaitan dnegan perasaan, emosi, sikap, derajat penerimaan, atau penalaran terhadap suatu obyek.
            Dilihat dari tiga aspek tersebut sebenarnya sudah sangat cukup untuk menciptakan orang cerdas, apalagi sekarang disetiap sekolah baik sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas terdapat mata pelajaran yang dapat membentuk kepribadian siswa yaitu agama, pendidikan kewarganegaraan, dan budi pekerti. Namun, apakah pembentukan kepribadian siswa melalui mata pelajaran itu sudah sesuai dengan nilai-nilai pancasila? Karena pada kenyataannya pendidikan di Indonesia kini tak lagi berdasarkan pada nilai-nilai pancasila.
            Seperti yang kita ketahui pancasila merupakan dasar negara kita, jadi apapun yang kita lakukan harus berdasarkan nilai-nilai pancasila. Dan pendidikan pun tidak luput dari nilai-nilai pancasila. Pancasila selalu kita kumandangkan ketika melakukan upacara bendera, yang pertama adalah Ketuhan Yang Maha Esa, kedua adalah Kemanusiaan yang adil dan beradab, ketiga persatuan Indonesia, keempat adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, dan yang kelima adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, tapi apakah setiap manusia Indonesia telah melaksanakan pancasila ini beserta 45 butir pancasila yang ada?
            Sebagai pelajar tentunya untuk mengamalkan nilai-nilai pancasila kita bisa memulainya melewati pendidikan yang kini tengah kita tempuh. Jika dibongkar satu persatu sebenarnya pendidikan Indonesia hampir mulai melupakan nilai pancasila, atau mungkin sudah melupakan nilai pancasila. Mulai dari sila yang pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam dunia pendidikan pengamalan sila pertama ini terdapat pada mata pelajaran agama, tapi, apakah benar mata pelajaran agama telah mengantarkan para anak didiknya untuk menyanggupi butir-butir pancasila yang ada?
Mata pelajaran agama kini hanya membentuk pemikiran bahwa mata pelajaran agama harus dihapalkan mulai dari A sampai Z bukan malah melakukan sebuah tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Mata pelajaran agama kini sudah sama seperti mata pelajaran eksakta, yaitu hapalkan kemudian di ulang di kemudian hari untuk mengetes apakah anak didiknya sudah mempelajari bab yang bersangkutan. Padahal dalam mata pelajaran agama seharusnya siswa di ajak untuk meyakini kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan butir Pancasila yang pertama dalam Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, namun kenyataannya? Agama adalah mengejar nilai demi kenaikan kelas. Karena kini siswa-siswi di Indonesia hanyalah mengejar nilai bukan mempelajari nilai.
Selain itu pelajaran agama seharusnya mengajarkan nilai-nilai budi pekerti seperti saling menghormati walaupun berbeda keyakinan, saling mencintai sesama, mengembangkan sikap tenggang rasa dan tepa selira dalam kehidupan pelajar sehari-hari sesuai dengan Sila kedua yaitu Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Namun kenyataannya, lagi-lagi siswa harus mengejar nilai untuk kenaikan kelas atau kelulusan bukan untuk menempa budi pekerti kita selama menjalani dunia pendidikan tersebut.
Kalaupun di dalam raport telah terdapat tiga nilai / aspek yang mendasar untuk membentuk manusia yang cerdas sebenarnya tiga nilai tersebut harus diragukan. Karena dalam dunia pendidikan nilai afektif adalah nilai sikap, tapi yang ada nilai afektif yang ditekankan oleh para guru adalah bagaimana sikap anak itu di kelas apakah dia suka mencari gara-gara atau kalem di dalam kelas, atau mungkin apakah jika ada pertanyaan anak tersebut aktif atau tidak. Sebenarnya nilai afektif di sini adalah tingkah laku anak didik dalam keadaan sehari-hari, seperti apakah dia mau menolong temannya, tidak mebeda-bedakan temannya, dan apakah dia mau melaksanakan nilai-nilai pancasila dalam kegiatan sehari-harinya, bukan malah menilai anak tersebut baik atau tidak di kelas. Siapa tahu di kelas anak tersebut terlihat kalem, tapi pada kehidupan sehari-hari dia sombong, tidak mau menolong sesama, sedangkan anak yang suka mencari gara-gara di kelas belum tentu dia tidak mau menolong temannya, atau tidak peduli pada temannya. Hal itulah yang tidak diperhatikan oleh pendidikan Indonesia. Karena yang mereka pikirkan hanyalah mengejar nilai-nilai bukan mempraktekan nilai-nilai tersebut.
Hal ini tidak hanya terjadi pada mata pelajaran agama, tapi juga pada pendidikan kewarganegaraan, dan budi pekerti. Dulu pendidikan kewarganegaraan dikenal dengan nama PMP atau Pendidikan Moral Pancasila, kemudian berubah menjadi PPKN yaitu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, dan kemudian berubah menjadi PKN yaitu Pendidikan Kewarganegaraan. Jika dilihat dan dicermati baik-baik pendidikan Indonesia telah mendangkalkan pendidikan Pancasila. Padahal pendidikan Pancasila inilah yang nantinya akan membentuk kepribadian anak didik Indonesia. Dari pelajarannya saja sudah sangat terlihat perbedaannya, saat ini Pendidikan Kewarganegaraan benar-benar tidak ada nilai Pancasilanya, yang terdapat dalam mata pelajaran ini adalah tata pelaksanaan pemerintahan, hukum, dan sebagainya, bukan tentang nilai Pancasila yang harus diketahui semua orang. Dan lagi-lagi anak didik harus mengejar nilai dengan menghapalkan bukan menerapkan nilai-nilai dengan memahami dan melaksanakan.
Pendidikan Indonesia kini benar-benar mulai melupakan nilai Pancasila. Kalau pendidikan Indonesia menyangkal bahwa mereka tidak melupakan nilai-nilai Pancasila karena pendidikan Indonesia masih memiliki budi pekerti untuk menempa kepribadian siswanya. Namun faktanya tidak. Budi Pekerti yang merupakan pelajaran wajib bagi siswa adalah salah satu pelajaran yang di ulangan umumkan berupa menjawab soal-soal, bukan mengajarkan anak didik untuk menerapkan nilai-nilai budi pekerti yang berkaitan dengan Pancasila. Hal ini sungguh tidak bisa dipertahankan dan dijadikan pembelaan bahwa pendidikan Indonesia telah menggunakan dan menerapkan nilai Pancasila dalam prosesnya.
Melihat keadaan ini pemerintah harusnya sadar dan mulai merapatkan lagi bentuk pendidikan Indonesia. Apakah Indonesia menginginkan pendidikan yang membentuk manusia pintar atau manusia bermoral? Jika pemerintah menjawab bahwa mereka menginginkan penerus dengan otak yang pintar, hal itu jelas mudah saja. Manusia pintar lebih mudah dibuat, berikan saja mereka pelajaran-pelajaran eksakta terus menerus hingga mereka jenius, tapi jika manusia jenius tidak diberikan pendidikan moral, dunia jelas akan menjadi hancur. Bayangkan saja jika semua manusia hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memiliki moral, manusia akan berlomba-lomba menjadi yang terpintar dan menguasai jagat raya, tanpa peduli masih ada orang lain di dunia ini.
Jika pemerintah mau berpikir dan mulai mengubah sistem pendidikan Indonesia dengan menyetarakan jam pelajaran moral dengan jam pelajaran yang mengasah kepintaran, dan menilai anak didik dengan cara melihat tingkah lakunya sehari-hari bukan hanya di kelas. Dengan cara tersebut tentu akan terbentuk manusia cerdas baik secara pikiran maupun moral. Karena di jaman seperti ini sangat minim kehadiran orang-orang cerdas, karena yang lebih banyak ditekankan adalah menjadi orang pintar. Hal inilah yang harus disadari dan diubah bentuk pemikirannya. Karena negara yang sukses dan maju adalah negara yang terbentuk oleh generasi penerus yang pintar dan juga cerdas. Dan Indonesia dapat memiliki hal tersebut hanya dengan cara mengamalkan nilai-nilai Pancasila di dalam dunia pendidikan. Niscaya negara kita akan menjadi maju karena negara kita berpondasi pada orang-orang yang pintar dan bermoral bukan hanya berpondasi pada orang pintar. Karena pintar tak akan bisa sempurna tanpa moral. 

2 komentar: