Minggu, 07 November 2010

Humaniora-Ekstakta Ilmu yang Berbeda tetapi Satu

Di dalam dunia pendidikan kita diperkenalkan pada dua ilmu, yaitu ilmu ekstakta dan ilmu humaniora. Dua ilmu ini saling berkaitan dan saling memberikan manfaat. Tanpa ilmu ekstakta seorang humaniora akan merasa kurang lengkap, begitu pula sebaliknya seorang yang menguasai ilmu ekstakta tanpa ilmu humaniora juga tidak bisa menjalani kehidupan yang lengkap. Tapi kenyataan yang berada di masyarakat saat ini adalah dengan ilmu ekstakta seseorang itu sudah cukup dan jauh lebih pintar dari apapun. Dan pada akhirnya ilmu humaniora tidak pernah di kenal oleh masyarakat di kemudian hari. Apa yang menyebabkan masyarakat Indonesia berpikir seperti itu?

Humaniora merupakan ilmu-ilmu pengetahuan yang dianggap bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya. Adapun pembagiannya antara lain teologi, filsafat, hukum, sejarah, filologi, bahasa, budaya, linguistik (kajian bahasa), kesusastraan, kesenian, psikologi (Balai Pustaka: 1988). Di dunia pendidikan khususnya di jenjang sekolah menengah atas (SMA) ilmu humaniora ini merupakan jurusan IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial) dan IPB (Ilmu Pengetahuan Bahasa), sedangkan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) merupakan jurusan yang menggunakan ilmu ekstakta.




Dari jenjang SMA inilah kita bisa melihat bagaimana ilmu humaniora tersebut sangat di diskriminasi oleh masyarakat. Masyarakat masih saja menggunakan pola pikir jaman dahulu, yaitu orang dengan menggunakan otak dan logika jauh lebih pintar daripada orang yang menggunakan jiwa sosial, bahasa, dan sejarah. Dan lagi-lagi masyarakat masih menggunakan pemikiran yang primitif, orang yang memiliki otak dan logika akan jauh lebih mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Sebenarnya pemikiran ini tidak lagi bisa dipertahankan. Lihat saja pengusaha-pengusaha yang kini sukses, dengan dia berusaha keras, pintar berbicara dan mempengaruhi orang, serta melihat kegagalan-kegagalan masa lalu (sejarah) mereka bisa sukses, dan mereka telah mempraktekkan ilmu humaniora. Begitu juga dengan para guide, mereka menceritakan sejarah tempat-tempat yang mereka kunjungi kepada turis dengan bahasa yang mereka kuasai dan dengan cara itu mereka telah mendapatkan uang, tidak perlu berpikir dan menggunakan logika mereka juga bisa mendapatkan uang yang lebih banyak. Jelas pemikiran masyarakat yang menganggap ilmu humaniora tidak sebanding dengan ilmu ekstakta itu salah besar. Karena pada dasarnya perbedaan dua ilmu ini memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Sekali lagi tanpa ilmu humaniora, ilmu ekstakta tidak akan baik, dan begitu pula sebaliknya.

Jika kita mau berpikir dan memandang ilmu humaniora dengan kedua mata kita bukan dengan sebelahnya saja dan menganggap remeh ilmu humaniora tersebut, ilmu humaniora dapat menyempurnakan ilmu yang kita kuasai selama ini. Contoh keterikatan ilmu humaniora dengan ilmu ekstakta kurang lebih seperti hal ini seseorang yang hanya mengandalkan otak dan logika saja jelas tidak cukup, jika seseorang tersebut tidak menguasai bahasa bagaimana dia bisa menyerap ilmu lain yang kebanyakan menggunakan istilah asing atau bahasa serapan? Ini berarti orang tersebut harus menguasai bahasa yang merupakan salah satu bagian dari ilmu humaniora. Selain itu bahasa juga membantu mereka untuk bisa berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya. Selain keahlian bahasa, dengan menggunakan sejarah orang tersebut juga bisa sukses, walaupun dia jenius sekalipun dia akan belajar melalui kegagalan, itu berarti orang tersebut telah menggunakan salah satu sub ilmu humaniora.

Ilmu humaniora merupakan ilmu yang tidak boleh diremehkan. Tanpa ilmu humaniora seseorang akan bertindak sesuka hatinya tanpa aturan, tidak memiliki jiwa seni dan kepedulian terhadap budaya. Dalam ilmu humaniora seseorang diajarkan untuk mengenal hukum, keadaan jiwa seseorang (psikologi), kebahasaan, kesenian, agama, filsafat, dan kebudayaan. Dari melihat sub-sub yang berada pada ilmu humaniora, sebenarnya manusia di ajak untuk bisa menjadi lebih baik. Dengan hukum seseorang akan berpikir berkali-kali sebelum melakukan tindakan karena mereka akan berpikir tentang apa yang mungkin akan terjadi dan konsekuensinya, sayangnya hal ini masih belum diterapkan oleh Indonesia sehingga nilai keberadaban manusia menjadi berkurang. Selain itu dengan memahami jiwa seseorang kita bisa membantu seseorang untuk menyelesaikan masalahnya jelas ini meningkatkan nilai kemanusiaan manusia. Begitu juga dengan agama. Sedangkan filsafat merupakan ilmu yang berdasar pada logika berpikir dan logika berbahasa. Jadi, sesungguhnya ilmu humaniora dan ilmu ekstakta merupakan ilmu yang sederajat, berbeda namun sama.

Sayangnya pemikiran masyarakat yang masih menganggap ilmu humaniora itu tidak penting menahan laju pengembangan ilmu ini. Karena dengan adanya pandangan masyarakat seperti itu jelas akan berpengaruh pada generasi muda yang masih terlibat dengan dunia pendidikan. Karena kebanyakan pemilihan jurusan pada sekolah menengah atas ditentukan oleh orang tua atau akibat belum adanya tujuan dalam hidup siswa-siswi tersebut. Jika dilakukan perbandingan antara besarnya peminat antara ilmu ekstakta dengan ilmu humaniora salah satu contoh kurangnya minat siswa terhadap ilmu ini di SMA Negeri 3 Denpasar pada angkatan 2007/2008 adalah sebagai berikut pada angkatan tersebut jumlah siswa sebanyak 272 orang setelah penjurusan hanya 35 orang mengambil jurusan IPS dan 12 orang mengambil jurusan IPB sisanya adalah IPA, jika di presentasekan sebanyak 82,7% siswa di SMA Negeri 3 Denpasar yang mengambil jurusan ekstakta (IPA) dan hanya 17,3% siswa yang mengambil jurusan humaniora (IPS dan IPB).

Pengambilan jurusan ini pun bisa dianggap sedikit “memaksa”, karena kebanyakan siswa-siswi yang mengambil jurusan IPA belum tahu akan mengambil jurusan apa ketika kuliah nanti, atau akibat adanya paksaan dari orang tua akibat masih kecilnya ruang lingkup pemikiran orang tua. Tidak sedikit dari siswa-siswi yang mengambil jurusan IPA ini tertekan, selain diakibatkan susahnya pelajaran ekstakta di tambah pula dengan bukan keinginan dari diri siswa-siswi tersebut jelas mereka tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal dan malah menjadi “IPA-IPA an”. Jadi, sesungguhnya pemikiran orang tua yang menganggap anak IPA akan jauh lebih sukses dari IPS atau IPB sudah salah. Seseorang akan menjadi sukses apabila mengikuti keahlian yang ada di dalam dirinya dan bakat yang di milikinya.

Tak hanya masyarakat yang memandang remeh orang-orang yang berada pada dunia humaniora. Pemerintah pun begitu. Jika pemerintah sadar bahwa ekstakta dan humaniora itu sama atau sederajat pemerintah tidak akan memberikan kesempatan pada universitas-universitas untuk memperbolehkan siswa-siswi dari jurusan ekstakta masuk ke jurusan humaniora, ini jelas memperlihatkan adanya ketidakadilan antara IPA, IPS, dan IPB. Kalau memang diperbolehkan untuk masuk seperti itu mengapa pemerintah tidak mengharuskan semua sekolah menengah atas untuk membuka IPC (Ilmu Pengetahuan Campuran) dan menghapuskan tiga jurusan tersebut (IPA, IPS, dan IPB) agar tidak terjadi kecemburuan sosial. Jika sikap pemerintah seperti ini jelas semakin membuat ilmu humaniora terlupakan malah semakin hilang dari permukaan.
Seharusnya pemerintah dan masyarakat mengerti dan sadar bahwa ilmu humaniora itu sama seperti ilmu ekstakta. Dan mereka seharusnya tidak membeda-bedakan. Memang kedua ilmu ini berbeda tapi bukan berarti perbedaan ini membedakan antara si pintar dan si bodoh. Belum tentu orang sosial itu bodoh, dan belum tentu orang ekstakta itu jenius. Semua memiliki porsi masing-masing. Malahan jika kedua ilmu ini digabungkan penguasaan ilmu akan sempurna.

Pembagian ilmu ini sebenarnya bertujuan untuk membuat spesialisasi keahlian. Bukan alat untuk membedakan. Semua bisa pintar jika mereka masuk pada ilmu yang mereka kuasai masing-masing. Seandainya masyarakat mau membuka mata dan mulai berpikir modern perbedaan kedua ilmu ini pasti tidak akan menjadi masalah. Kurangnya pemikiran masyarakat dan kurangnya perhatian pemerintahlah yang membuat ilmu humaniora ini tidak berkembang. Padahal ilmu ini mengajarkan seseorang menjadi seorang yang berjiwa sosial, berbudaya, berperikemanusiaan dan seni.

Maka dari itu ilmu humaniora ini seharusnya di kembangkan lebih lanjut bukan divakumkan dan “dianaktirikan”. Karena ilmu humaniora juga memiliki kesempatan yang sama untuk maju, bukan hanya ilmu ekstakta saja yang harus dimajukan. Dan masyarakat serta pemerintah juga harus mulai membuka mata dan berpikir modern. Bahwa setiap manusia memiliki keahlian dan kemampuan masing-masing bukan dijuruskan secara paksa dan memberikan ”cap bodoh” pada orang-orang humaniora. Karena pada dasarnya ilmu ini sama baiknya dengan ilmu ekstakta. Jadi, untuk apa membedakan dua ilmu yang berbeda tapi sama ini dengan dua cap, yaitu ”cap bodoh” dan ”cap pintar” yang bukanlah alasan perbedaan dua ilmu ini. Untuk itu berhentilah berpikir pendek tentang ilmu humaniora dan mulailah berpikir modern dengan ilmu humaniora.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar